Sabtu, 25 Mei 2013

Pengertian Korupsi Menurut Islam


Tak terasa hampir empat belas tahun telah berlalu masa reformasi Indonesia yang menggemakan basmi korupsi,  namun kini gaung anti korupsi mulai terasa hilang dan hambar. Bahkan, perilaku korupsi pun sekarang sepertinya sudah dianggap wajar. Penumpasan tindakan korupsi memang tidak mudah, apalagi bila kejahatan tersebut terorganisir. Tetapi bagaimanapun, korupsi harus tetap dilawan karena korupsi merupakan tindakan jahat yang telah merugikan rakyat dan negara. Kartini Kartono(Patologi Sosial, Grafindo Persada 1997) mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.
Penumpasan korupsi ini tidak sebatas kewajiban pemerintah atau lembaga pembasmi korupsi, tetapi juga harus ada kesadaran dari masyarakat itu sendiri untuk tidak berlaku tindakan korupsi. Korupsi yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata korup yang berarti buruk, rusak, busuk, memakai barang/uang yang dipercayakan, dapat disogok. Mengorup adalah merusak, menyelewengkan (menggelapkan) barang (uang) milik perusahaan (negara) tempat kerja. Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Mengorupsi berarti menyelewengkan atau menggelapkan (uang dsb).


Jelaslah, bahwa korupsi merupakan tindakan kejahatan yang harus ditumpas. Dalam khazanah hukum Islam, tidak ditemukan istilah korupsi. Namun, hukum yang mengarah pada tindakan korupsi seperti dalam pengertian di atas dapat dilihat pada unsur berikut ini :
1. Ghulûl
Ghulûl adalah isim masdar dari kata ghalla, yaghullu, ghallan, wa ghullan, wa ghulûlan (Ibnu Manzur, Lisânul ‘Arab) yang secara leksikal dimaknai akhadza al-syai’a fi khufyatin wa dassahu fi matâ’thî (mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dan memasukkan ke dalam hartanya) (M. Rawwas, Mu’jam Lughât al-Fuqahâ) dankhâna (khianat atau curang).
Rasulullah Saw menjelaskan kata ghulul dalam hadis riwayat Adi bin Amirah al-Kindi,Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulû(harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.”
Kemudian ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Saw, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi Saw bertanya, “Ada apa gerangan?” Dia menjawab, “Saya mendengar engkau berkata demikian dan demikian,” Beliau Saw pun bersabda, “Aku katakan sekarang, bahwa barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit ataupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia boleh mengambilnya (halal). Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.’” (HR. Muslim)
Dalam riwayat Buraidah, Rasulullah juga menegaskan makna ghulûl, beliau bersabda,“Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulû(korupsi).” (HR. Abu Daud)
2. Hadiah/Gratifikasi
Kata hadiah berasal dari bahasa Arab, hadiyyah, yang berarti hadiah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hadiah adalah pemberian (kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan), ganjaran (karena memenangkan suatu perlombaan), tanda kenang-kenangan (tt perpisahan). Hadiah dapat juga disebut hibah.
Pada dasarnya hadiah merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan untuk saling memberi hadiah. Suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Swtuntuk memperkuat tali silaturahmi atau menjalin ukhuwah IslamiahNabi Sawbersabda, “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta.” (HR. Imam Malik)
Adapun jika memberi hadiah untuk kepentingan tertentu, seperti memberi hadiah kepada orang yang memiliki suatu jabatan, kekuasaan atau wewenang, maka pemberian hadiah tersebut terlarang. Hadiah seperti ini disebut juga dengan gratifikasi, yaitu uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan.Rasulullah Saw melarang jenis hadiah (gratifikasi) seperti ini, beliau bersabda, “Hadiah bagi para pekerja adalah ghulul (korupsi).” (HR. Ahmad)
Imam Syafi’i (w. 820 M), dalam kitabnya Al-Umm, menyatakan bahwa apabila seorang warga masyarakat memberikan hadiah kepada seorang pejabat, maka bilamana hadiah itu dimaksudkan untuk memperoleh—melalui atau dari pejabat itu—suatu hak, maka haram atas pejabat bersangkutan untuk menerima hadiah tersebut.
3. Risywah
Istilah lain yang juga merupakan salah satu bentuk korupsi adalah risywah, yang berasal dari kata rasya, yarsyu, rasywan wa rasywah wa risywah wa rusywah yang berarti memberi suap atau sogok kepadanya.
Orang yang menyuap disebut al-rusyi yaitu orang yang memberikan sesuatu kepada seseorang yang bisa membantunya atas dasar kebatilan. Adapun orang yang mengambil atau menerima pemberian itu disebut al-murtasyi. Sementara orang yang menjadi perantara antara pemberi dan penerimanya dengan menambahi di suatu sisi dan mengurangi di sisi lain disebut al-ra’isy.
Umar bin Khaththab mendefinisikan bahwa risywah adalah sesuatu yang diberikan/disampaikan oleh seseorang kepada orang yang mempunyai kekuasaan (jabatan, wewenang) agar ia memberikan kepada si pemberi sesuatu yang bukan haknya). Risywah (suap) merupakan perbuatan yang dilarang oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ Ulama. Larangan tersebut berlaku bagi yang memberi, menerima dan yang menjadi penghubung di antara keduanya.
Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 188)
4. Suht
Suht secara bahasa berasal dari kata kerja sahata yashatu suhtan wa suhutan yang berarti memperoleh harta haram. Ibnu Manzur menjelaskan arti suht, yaitu semua yang haram. Suht juga diartikan sesuatu yang terlarang, yang tidak halal dilakukan karena akan merusak atau menghilangkan keberkahan.
Bukhari mengutip pendapat Ibnu Sirin bahwa suht adalah risywah (suap menyuap) dalam perkara hukum atau kebijakan. Malik juga meriwayatkan bahwa orang-orang Yahudi di Khaibar pernah akan menyuap Abdullah bin Rawahah r.a dengan sejumlah perhiasan agar memberikan keringanan atau keuntungan tertentu bagi mereka, tetapi Ibnu Rawahah berkata, “Apa pun yang kamu sodorkan dari suap, maka hal itu adalahsuht (yang haram) dan kami tidak akan memakannya.”
5. Khâna
Khâna berarti ghadara (berkhianat, tidak jujur), naqadhakhâlafa (melanggar dan merusak). Ar-Raqib al-Isfahani, seorang pakar bahasa Arab, berpendapat bahwa khianat adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang dipercayakan kepadanya. Ungkapan khianat juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak-hak orang lain, dapat dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah mu’amalah. Khianat juga digunakan kepada orang yang mengingkari amanat politik, ekonomi, bisnis (mu’amalah), sosial dan pergaulan.
Khianat adalah tidak menepati amanah. Oleh karena itu, Allah Swt sangat membenci dan melarang berkhianat. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)
Khianat yang semakna dengan pengertian korupsi, yaitu pengkhianatan terhadap amanah dan sumpah jabatan. Rasulullah Saw menggambarkan orang yang berbai’at tidak berdasarkan pada kebenaran dan ketakwaan, beliau bersabda, “Ada tiga kelompok manusia yang Allah Swt tidak mau berbicara kepada mereka di Hari Kiamat dan tidak mau menyucikan (dosa atau kesalahan) mereka dan bagi mereka siksa yang pedih, yaitu pertama, orang yang memiliki kelebihan air di perjalanan tetapi ia menghalangi Ibnu Sabil (para pejalan, musafir) untuk mendapatkannya.Kedua, orang yang memberikat bai’at kepada seorang pemimpin hanya karena kepentingan duniawi. Jika ia diberi sesuai keinginannya, ia akan memenuhi bai’at itu dan jika tidak diberikan, ia tidak memenuhi bai’atnya. Dan ketiga, orang yang menjual dagangan kepada seseorang di sore hari sesudah Asar, lalu ia bersumpah kepada Allah bahwa barang tersebut telah ia berikan (tawaran) dengan harga sekian dan sekian (untuk mengecoh pembeli) lalu ia membenarkannya, kemudian si pembeli jadi membelinya, padahal si penjual tidak memberikan (tawaran) dengan harga sekian atau sekian.” (HR. Bukhari)
6. Sariqah
Sariqah berasal dari kata saraqa yasriqu sarqan wa sariqah yang secara leksikal bermakna akhadza mâ lighairi khufyatan, yang berarti mencuri. Sariqah juga bermakna nahab (merampok), syahshan (menculik), syaian qalîlan (mencuri barang kecil, mencopet), dan muallafan (menjiplak, melakukan plagiat).
Para koruptor telah mencuri harta negara yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, sedangkan dalam Islam sendiri berkeyakinan bahwa orang yang melakukan pencurian bukalah orang yang beriman, karena seorang yang beriman, ia tidak mungkin akan melakukan korupsi atau pencurian sebagaimana sabda Rasulullah Saw,“Pencuri tidak akan mencuri ketika ia dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar